Tentang Live sale harga gila2an.
“Mas, aku beli jilbab itu hanya 100ribu, padahal harga normalnya 300ribuan. Gamis yang biasanya harga 1,3jutaan sekarang juga diobral jadi 500ribuan. Laris banget, sampai kita harus berebut untuk bisa keep…”
Begitu cerita istri tentang gambaran fenomena “Live sale” diberbagai platform, baik itu yang online maupun yang offline digelar dipusat2 keramaian. Harga dibandrol extreme di obral seobral2nya. Mulai dari produk2 fashion hingga skincare.
Rame dan antusiasnya jangan tanya lagi. Beberapa menit sudah terjual ratusan bahkan ribuan peace. Semua berlomba2 menunjukkan berapa panjang struk belanjaan yang masuk.
Diskon dan obral barang dengan harga murah tetap menjadi trigger pembelian. Masyarakat Indonesia sudah terbukti dan teruji sangat sensitif dengan trigger ini.
Kita masih ingat bagaimana obral gede2an di gojek dan gofood, jutaan orang langsung install aplikasi tesebut. Kita ingat gimana shopee dan shoppe food bakar duit. Platform ini langsung mendisrupsi para raksasa sebelumnya.
Sama juga dengan tik tok shop yang memberi diskon gede2an dan eksposure brutal setelahnya. Langkah yang membuat si orange ketar ketir.
Pertanyaan sebenarnya adalah sampai kapan ini terjadi?. Bakar duit dan obral seperti ini yang sebenarnya membuat konsumen tidak loyal lagi dengan brand. Mereka loyal dengan keuntungan jangka pendek mereka. Dan itusangat wajar sekali menurut hukum logika hawa nafsu manusia.
Kita bisa melihat yang bakar2 duitpun akhirnya menjadi bumerang setelahnya. Fenomena naiknya harga kembali, penurunan user, kerugian trilyunan, dan PHK besar2an di berbagai platform amenjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang tidak sedang baik2 saja.
Guru saya pernah menyampaikan dari sisi konsumen, ini adalah “mudharat”. Belanja impulsif sampai menjerus ke konsumerisme berlebih ini sebuah budaya yang tidak sehat.
Dari sisi pebisnis, ini juga bisa jadi bumerang kedepan. Karena persepsi customer akan berubah terhadap brand tersebut. Harga murah dengan jumlah besar itu bisa jadi karena deadstock sebelumnya.
Jadi harus ambil momentum lebaran ini untuk menjual produknya. Karena sangat mungkin stelah ini akan kesulitan lagi mencari momentum. Masalahnya di momentum selanjutnya customer terlalu akrab dengan diskon diskon dan diskon. Customer kecanduan diskon.
Ini bukan salah benar, apalagi jika pebisnis tersebut harus punya kewajiban membayar THR, dan kewajiban2 yang lain. Ini Sudah langkah yang tepat untuk menyelamatkan cashflow.
Sedikit kegelisahan pribadi tentang fenomena ini. Saya meyakini bahwa fenomena ini bukan pertanda baik buat UMKM kedepan. Karena mereka akan terkondisikan masuk ke dalam perang harga. UMKM akan dipaksa bertarung mati2an dengan profit kecil.
Dilain sisi, perlahan dan masif behavior customer akan berubah semakin “serakah” dan pragmatis-oportunis. Yang punya modal besar yang akan menang. Sebuah iklim bisnis yang disukai oleh para kartel dan kapitalis.